Rabu, September 01, 2010

Hati-hati, Kemunafikan Menghantui Kita

rabu, 22 ramadhan 1431 h

Hati kita ini memang sesuatu yang sangat luar biasa. Hati ini adalah gudang simpanan berjuta rahasia, rasa, emosi, empati, respek, dendam, dengki, iri, takabur, sombong, syukur, ikhlas, belas kasih, senang, sayang, rindu, cinta, semuanya bercampur jadi satu dalam hati kita. Kita tidak bisa ditipu oleh hati kita terhadap apa yang terbersit padanya. Kita bahkan tidak bisa mengendalikan apa yang akan terbersit dari hati kita masing-masing. Karenanya maha suci Allah yang telah menciptakan hati ini begitu independent tidak bisa diintervensi, bahkan oleh yang membawanya sendiri, yaitu manusia, "Dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara manusia dan hatinya .... QS Al Anfaal : 24).

Namun demikian, yang terjadi adalah manusia lebih sering menipu kata hatinya sendiri, mengingkari kata hatinya sendiri, berpura-pura tidak tahu menahu dan bersikap masa bodoh terhadap apa yang diungkapkan oleh hatinya. Dalam jangka waktu yang lama, hati yang mestinya bisa menjadi alat peringatan dini atas bahaya-bahaya, menjadi tidak peka lagi. Hati bahkan hampir tidak berfungsi. Maka bertebaranlah wujud manusia-manusia tanpa hati, tanpa perasaan, yang menjalani kehidupan ini dengan menerjang berbagai aturan, hukum, syariat, hidup dengan penuh kepura-puraan, kemunafikan, pokoknya aman, apapun dilakukan tanpa takut dosa.

Hal gerangan apakah yang menyebabkan manusia bisa mengabaikan karunia Tuhannya yang berharga, yaitu hati nuraninya ? Di antaranya diungkapkan dalam Al-Qur'an surat At-Taubah 67 " ... mereka menyuruh berbuat kemunkaran dan melarang berbuat yang makruf, dan mereka menggenggam tangannya. Mereka telah melupakan Allah ..." Mengomentari ayat ini Al-Maududi dalam tafsirnya menyatakan bahwa karakteristik umum dari orang hipokrit (munafik) adalah :

á Lebih tertarik dengan hal-hal yang memberikan kemudharatan dan bahkan berbahaya

á Bersimpati, memuji, menyetujui, dan memberikan konsultasi bagi terlaksananya dengan mulus perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

á Mengupayakan agar orang lain turut serta dalam perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

á Senang dan bangga dengan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam progress kinerja kekejian dan kemunkaran.

á Merasa shock dan sakit hatinya melihat perbuatan makruf dan progress kinerja kemakrufan yang meningkat pesat.

á Merasa tidak nyaman sama sekali melihat ada pihak yang berkontribusi dalam kebaikan dan kemakrufan, dan mengupayakan terjadinya rintangan / halangan bagi terwujudnya kontribusi tersebut.

á Paradigma terhadap harta adalah untuk ditumpuk bagi dirinya sendiri atau untuk menunjang progress kekejian dan kemunkaran, lepas dari apakah ia memang kikir ataupun dermawan.

Di surat yang sama pada ayat 75 – 77 Allah menambahkan karakteristik orang-orang hipokrit / munafik dalam relasinya dengan Allah yang pada intinya adalah mereka begitu beraninya mendustai Allah dan tidak tahu berterima kasih sebagai seorang hamba.

Dalam konteks hubungan kemasyarakatan, bernegara, diungkapkan dalam surat yang sama ayat 98 " ... ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian ... " Al Maududi dalam tafsirnya menyatakan bahwa berbagai kewajiban yang berkenaan dengan finansial baik untuk agama atau untuk kemaslahatan masyarakat dalam pandangan mereka adalah sebagai satu hukuman, atau maksimal hanya untuk menunjukkan pada orang lain bahwa ia adalah orang yang loyal, bukan karena rasa tunduk dan patuhnya serta untuk menjalankan perintah Allah.

Karena itu hati-hatilah kita semua. Jangan-jangan ada salah satu sifat atau bahkan beberapa sifat yang ternyata melekat dalam diri kita. Tidak mustahil hati yang tidak dirawat, tidak dipelihara, tidak didengar, akan tumbuh menjadi hati yang tertutup, sebagaimana cermin yang tidak pernah dibersihkan, tidak bisa dipakai lagi untuk berkaca diri, tidak peka lagi terhadap kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Bukan Allah yang menutup kejernihan hati ini, namun kejelekan, kemunkaran, dan kekejian yang kita lakukanlah yang menutup mata hati kita sendiri. Dalam surat Al Muthoffifin 14 " Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itulah yang menutup hati mereka"

Karena itu marilah di bulan penuh ampunan ini kita banyak bertaubat, minta ampunan dan maaf atas kezaliman kita terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Marilah kita memadukan antara permohonan ampunan ini dengan pembaharuan ikrar terhadap syahadat kita, persaksian dan pengakuan kita akan keesaan Allah, seraya kita siap memaafkan dan berlapang dada kepada orang lain, karena Allah adalah sang Maha Pemaaf, Ia sangat mencintai kemaafan, mencintai hambanya yang saling memaakan. Apabila hambanya saling memaafkan, maka mereka pada hakikatnya sedang berinteraksi dengan sifat Allah yang maha pemaaf. Mudah-mudahan banyaknya kalimat zikir, dan istighfar serta syahadat kita, mampu menjadi penghapus bagi sifat-sifat kemunafikan kita, sehingga hati kita menjadi jernih, terang, dan kembali mampu berfungsi sebagaimana tempat berbagai rahasia dan perbendaharaan kita simpan, dan yang lebih penting adalah sebagai teman baik yang akan memperingatkan berbagai bahaya dan kemudharatan yang hadir di depan kita. Semoga.

Salam Sukses