Kamis, September 02, 2010

Kelembutan Hati dengan Al-Qur’an

Kamis, 23 Ramadhan 1431 H

Teman, kita ini banyak merasa gundah gulana, hati kita sering sakit, kalut dan takut menghantui. Kita sendiri bingung apa sebabnya hati menjadi seperti ini. Allah SWT, Sang Pembolak-balik hati, Dia-lah yang yang menjadikan hati kita tenang dan bergejolak. Dia-lah yang mendiding manusia dengan hatinya.

Teman, kalau kita tahu bahwa kuasa Allah-lah hati ini terkondisi, maka apa yang bisa kita lakukan agar Allah senantiasa menjadikan hati kita tenang. Tentu jawabnya adalah segala sesuatu yang menjadikan kita dekat dengan-Nya, maka hal itulah yang akan menjadikan hati kita tenang. Namun ada satu amalan yang kontribusinya sangat besar untuk menjadikan hati kita tenang, yaitu membaca Al-Qur'an. Membaca Al-Qur'an merupakan salah satu bentuk zikir, karena salah satu nama Al-Qur'an sendiri adalah Az-Zikra. Allah menjamin bahwa " ........ dengan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenteram". Kita semua tahu, salah satu kenikmatan terbesar di bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Qur'an, bulan Al-Qur'an diturunkan. Bulan di mana Al-Qur'an di baca di mana-mana, dikumandangkan dengan syahdu di masjid, musholla, dan rumah-rumah. Seluruh ummat muslim di dunia ini sedang membaca satu kitab yang sama, pagi, siang, maupun malamnya. Begitu indahnya Ramadhan ini, bumi berputar di dalam kesunyian, mengiringi syahdunya zikir bacaan Al-Qur'an yang dikumandangkan seluruh ummat muslim di seluruh penjuru dunia.

Pertemanan yang akrab dan erat akan membawa kebahagiaan dan ketenangan di antara dua orang yang sedang memadu cinta. Frekuensi pertemuan dan kualitas pertemuan inilah yang menentukan seberapa besar kebahagiaan dan ketenangan akan diraihnya. Nah sekarang seberapa besar frekuensi dan kualitas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an ? Diri kita sendiri yang tahu, apakah kita saat ini begitu dekat dengan Al-Qur'an atau begitu jauh dengan Al-Qur'an. Untuk hal ini, hati kita tidak bakal menipu diri kita. Pertemanan yang akrab akan menularkan berbagai sifat. Seorang pecinta akan berusaha meniru sifat-sifat siapa yang dicintainya. Al-Qur'an mengandung kebaikan tak terhitung jumlahnya, di samping ia adalah petunjuk, sumber kebenaran, obat penawar, rahmat, dan gudang perbendaharaan rahasia Ilahi. Yang berinteraksi dengannya tentunya akan menyerap sifat-sifat kebaikan ini yang kadarnya sesuai dengan seberapa besar dan seberapa berkualitas interaksi tersebut dilakukan. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang menzalimi (diri sendiri maupun orang lain), orang-orang yang melampuai batas, justru menjadikan mereka merasa tidak memperoleh manfaat apapun bahkan merasa mengalami kerugian, dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an. Nah, hati kita dengan mudah akan menjawab, apakah hubungan kita selama ini dengan Al-Qur'an adalah baik-baik saja, ataukah bermasalah ?

Teman, Allah SWT sangat sayangnya pada kita, begitu kasihnya pada kita, hingga menjadikan Al-Qur'an tetap terpelihara dan sesuai aslinya hingga saat ini ada di depan kita dengan bentuk yang sangat beragam sesuai dengan perkembangan teknologi yang mengikutinya. Maha Benar dan Maha Suci Allah yang menjadikan kita di zaman ini begitu mudahnya mempelajari Al-Qur'an. Seiring dengan kompleksnya permasalahan dan semakin besarnya potensi bagi hati ini untuk sakit, menjadi kasar, menjadi bengis, maka Allah menjadikan pada waktu yang sama bagi kita, dengan mudah berinteraksi dengan Al-Qur'an melalui berbagai media dan teknologi.

Teman, marilah Ramadhan ini kita jadikan waktu yang tepat untuk berinteraksi yang akrab dengan Al-Qur'an, manfaatkan berbagai kemudahan yang telah Allah sediakan untuk kita, semoga pertemanan yang akrab ini mampu menularkan berbagai sifat-sifat baiknya, meredam dan bahkan memadamkan sifat-sifat hati kita yang kasar dan bengis dan pada akhirnya menjadikan hati ini begitu lembutnya.

Semoga,




Rabu, September 01, 2010

Hati-hati, Kemunafikan Menghantui Kita

rabu, 22 ramadhan 1431 h

Hati kita ini memang sesuatu yang sangat luar biasa. Hati ini adalah gudang simpanan berjuta rahasia, rasa, emosi, empati, respek, dendam, dengki, iri, takabur, sombong, syukur, ikhlas, belas kasih, senang, sayang, rindu, cinta, semuanya bercampur jadi satu dalam hati kita. Kita tidak bisa ditipu oleh hati kita terhadap apa yang terbersit padanya. Kita bahkan tidak bisa mengendalikan apa yang akan terbersit dari hati kita masing-masing. Karenanya maha suci Allah yang telah menciptakan hati ini begitu independent tidak bisa diintervensi, bahkan oleh yang membawanya sendiri, yaitu manusia, "Dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara manusia dan hatinya .... QS Al Anfaal : 24).

Namun demikian, yang terjadi adalah manusia lebih sering menipu kata hatinya sendiri, mengingkari kata hatinya sendiri, berpura-pura tidak tahu menahu dan bersikap masa bodoh terhadap apa yang diungkapkan oleh hatinya. Dalam jangka waktu yang lama, hati yang mestinya bisa menjadi alat peringatan dini atas bahaya-bahaya, menjadi tidak peka lagi. Hati bahkan hampir tidak berfungsi. Maka bertebaranlah wujud manusia-manusia tanpa hati, tanpa perasaan, yang menjalani kehidupan ini dengan menerjang berbagai aturan, hukum, syariat, hidup dengan penuh kepura-puraan, kemunafikan, pokoknya aman, apapun dilakukan tanpa takut dosa.

Hal gerangan apakah yang menyebabkan manusia bisa mengabaikan karunia Tuhannya yang berharga, yaitu hati nuraninya ? Di antaranya diungkapkan dalam Al-Qur'an surat At-Taubah 67 " ... mereka menyuruh berbuat kemunkaran dan melarang berbuat yang makruf, dan mereka menggenggam tangannya. Mereka telah melupakan Allah ..." Mengomentari ayat ini Al-Maududi dalam tafsirnya menyatakan bahwa karakteristik umum dari orang hipokrit (munafik) adalah :

á Lebih tertarik dengan hal-hal yang memberikan kemudharatan dan bahkan berbahaya

á Bersimpati, memuji, menyetujui, dan memberikan konsultasi bagi terlaksananya dengan mulus perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

á Mengupayakan agar orang lain turut serta dalam perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

á Senang dan bangga dengan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam progress kinerja kekejian dan kemunkaran.

á Merasa shock dan sakit hatinya melihat perbuatan makruf dan progress kinerja kemakrufan yang meningkat pesat.

á Merasa tidak nyaman sama sekali melihat ada pihak yang berkontribusi dalam kebaikan dan kemakrufan, dan mengupayakan terjadinya rintangan / halangan bagi terwujudnya kontribusi tersebut.

á Paradigma terhadap harta adalah untuk ditumpuk bagi dirinya sendiri atau untuk menunjang progress kekejian dan kemunkaran, lepas dari apakah ia memang kikir ataupun dermawan.

Di surat yang sama pada ayat 75 – 77 Allah menambahkan karakteristik orang-orang hipokrit / munafik dalam relasinya dengan Allah yang pada intinya adalah mereka begitu beraninya mendustai Allah dan tidak tahu berterima kasih sebagai seorang hamba.

Dalam konteks hubungan kemasyarakatan, bernegara, diungkapkan dalam surat yang sama ayat 98 " ... ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian ... " Al Maududi dalam tafsirnya menyatakan bahwa berbagai kewajiban yang berkenaan dengan finansial baik untuk agama atau untuk kemaslahatan masyarakat dalam pandangan mereka adalah sebagai satu hukuman, atau maksimal hanya untuk menunjukkan pada orang lain bahwa ia adalah orang yang loyal, bukan karena rasa tunduk dan patuhnya serta untuk menjalankan perintah Allah.

Karena itu hati-hatilah kita semua. Jangan-jangan ada salah satu sifat atau bahkan beberapa sifat yang ternyata melekat dalam diri kita. Tidak mustahil hati yang tidak dirawat, tidak dipelihara, tidak didengar, akan tumbuh menjadi hati yang tertutup, sebagaimana cermin yang tidak pernah dibersihkan, tidak bisa dipakai lagi untuk berkaca diri, tidak peka lagi terhadap kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Bukan Allah yang menutup kejernihan hati ini, namun kejelekan, kemunkaran, dan kekejian yang kita lakukanlah yang menutup mata hati kita sendiri. Dalam surat Al Muthoffifin 14 " Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itulah yang menutup hati mereka"

Karena itu marilah di bulan penuh ampunan ini kita banyak bertaubat, minta ampunan dan maaf atas kezaliman kita terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Marilah kita memadukan antara permohonan ampunan ini dengan pembaharuan ikrar terhadap syahadat kita, persaksian dan pengakuan kita akan keesaan Allah, seraya kita siap memaafkan dan berlapang dada kepada orang lain, karena Allah adalah sang Maha Pemaaf, Ia sangat mencintai kemaafan, mencintai hambanya yang saling memaakan. Apabila hambanya saling memaafkan, maka mereka pada hakikatnya sedang berinteraksi dengan sifat Allah yang maha pemaaf. Mudah-mudahan banyaknya kalimat zikir, dan istighfar serta syahadat kita, mampu menjadi penghapus bagi sifat-sifat kemunafikan kita, sehingga hati kita menjadi jernih, terang, dan kembali mampu berfungsi sebagaimana tempat berbagai rahasia dan perbendaharaan kita simpan, dan yang lebih penting adalah sebagai teman baik yang akan memperingatkan berbagai bahaya dan kemudharatan yang hadir di depan kita. Semoga.

Salam Sukses






Selasa, Agustus 17, 2010

Amarah Vs Pemaaf, Energi Negatif Vs Energi Positif


Di antara salah satu sifat Ihsan yang Allah sangat sukai ada pada diri manusia adalah dia yang mampu menahan amarahnya dengan sabar meskipun mereka sebenarnya mampu menampakkan kemarahan tersebut. Sifat mudah marah di masa-masa sekarang ini seakan menjadi hal sangat biasa dan termasuk yang ditolerir dan bisa jadi termasuk salah satu budaya, artinya tiada hari tanpa marah, tanpa pertengkaran, tanpa perkelahian, tanpa pertikaian, dan tanpa kekacauan. Masyarakat kita pun dewasa ini begitu mudahnya disulut emosinya dengan isu-isu yang sepele namun reaksi mereka sungguh-sungguh sangat tidak rasional dan cenderung destruktif bahkan brutal. Mungkin di antara kita pun, yang peka terhadap perubahan yang ada dalam dirinya, mulai menangkap tanda-tanda pembangkit kemarahan ini. Kita mulai merasa lebih mudah tersinggung, gampang curiga, lebih sensitif, dan mudah berpikiran negatif, bahkan terhadap diri kita sendiri.

Firman Allah dalam Al Qur'an surat Ali 'Imron 134 bahwa ampunan dan surga yang seluas langit plus bumi ini dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa. Di antara sifat yang mutlak harus dimiliki oleh orang yang bertakwa adalah kemampuan menahan amarah, menahan emosi, walaupun sebenarnya ia mampu dan kuasa untuk melampiaskan amarah itu. Pelengkap sikap ini yang juga mutlak harus ada pada orang bertakwa adalah pemaaf terhadap orang yang melakukan keaniayaan kepadanya tanpa keinginan untuk membalas dendam walaupun ia mampu dan kuasa untuk melakukannya.

Setiap kali amarah muncul, ternyata energi negatif mendadak kita serap untuk masuk dalam diri kita, masuk dalam pikiran kita, masuk dalam emosi kita, masuk dalam otak kita, dan masuk dalam hati kita. Intinya kita secara sengaja dan sadar sedang memasukkan "unsur syeitan" dalam diri kita. Unsur ini akan masuk ke aliran darah kita dan mengalir ke seluruh bagian tubuh kita, fisik dan psikis serta emosional kita. Kalau kita sepakat dengan definisi syeitan yaitu segala sesuatu yang akan menjauhkan kita dari rahmat Allah. Salah satu yang menjauhkan kita dari rahmat Allah ini adalah amarah, maka amarah itu adalah syeitan yang harus kita jauhi. Hal lain yang bisa menjauhkan kita dari rahmat Allah adalah kekikiran, keserakahan, kerakusan, maka ketiganya adalah syeitan yang harus kita jauhi.

Karena berbagai unsur dalam tubuh kita telah tercemari oleh syeitan, maka muncullah tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan tindakan manusiawi, namun cerminan perbuatan syeitan yang terkutuk. Degub jantungnya menjadi lebih keras dan cepat, emosinya memuncak, tidak terkontrol, ditandai dengan warna merah padam di air mukanya, keluar dari mulutnya cacian, makian, keluar dari tangan dan kakinya tamparan, lemparan, pukulan, tendangan, pengrusakan, pembakaran, bahkan pembunuhan.

Maha Suci Allah yang sangat melarang sifat amarah ini dalam diri orang bertakwa, dan sebaliknya mewajibkan adanya sifat menahan amarah dan pemaaf. Sifat pemaaf ini membutuhkan adanya sikap lapang dada, selalu berprasangka baik, berhati lemah lembut, kemampuan berempati, kemampuan mengendalikan emosi, serta kemampuan reflektif – mampu bercermin terhadap diri sendiri, mampu mengkoreksi diri sendiri, mampu dan mau mengakui kesalahan yang dilakukannya sendiri. Intinya adalah orang bertakwa diharuskan senantiasa memasukkan pikiran positf, energi positif ke dalam tubuhnya, fisik, psikis, maupun emosional. Dari energi positf inilah akan muncul cerminan perbuatan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia ciptaan Allah.

Maha Suci Allah yang telah menetapkan bulan Ramadhan dengan kewajiban berpuasa sebagai bulan media latihan massal bagi kita selama satu bulan penuh untuk meningkatkan dan memasukkan berbagai energi positif dalam diri kita, fisik, psikis, dan emosional. Maha benar Allah dengan firman-Nya di akhir surat Al-Baqarah 184 "bahwasanya berpuasa itu jauh lebih baik bagimu, jikalau engkau mengetahui (rahasia-rahasianya)"

Salam Sukses