Di antara salah satu sifat Ihsan yang Allah sangat sukai ada pada diri manusia adalah dia yang mampu menahan amarahnya dengan sabar meskipun mereka sebenarnya mampu menampakkan kemarahan tersebut. Sifat mudah marah di masa-masa sekarang ini seakan menjadi hal sangat biasa dan termasuk yang ditolerir dan bisa jadi termasuk salah satu budaya, artinya tiada hari tanpa marah, tanpa pertengkaran, tanpa perkelahian, tanpa pertikaian, dan tanpa kekacauan. Masyarakat kita pun dewasa ini begitu mudahnya disulut emosinya dengan isu-isu yang sepele namun reaksi mereka sungguh-sungguh sangat tidak rasional dan cenderung destruktif bahkan brutal. Mungkin di antara kita pun, yang peka terhadap perubahan yang ada dalam dirinya, mulai menangkap tanda-tanda pembangkit kemarahan ini. Kita mulai merasa lebih mudah tersinggung, gampang curiga, lebih sensitif, dan mudah berpikiran negatif, bahkan terhadap diri kita sendiri.
Firman Allah dalam Al Qur'an surat Ali 'Imron 134 bahwa ampunan dan surga yang seluas langit plus bumi ini dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa. Di antara sifat yang mutlak harus dimiliki oleh orang yang bertakwa adalah kemampuan menahan amarah, menahan emosi, walaupun sebenarnya ia mampu dan kuasa untuk melampiaskan amarah itu. Pelengkap sikap ini yang juga mutlak harus ada pada orang bertakwa adalah pemaaf terhadap orang yang melakukan keaniayaan kepadanya tanpa keinginan untuk membalas dendam walaupun ia mampu dan kuasa untuk melakukannya.
Setiap kali amarah muncul, ternyata energi negatif mendadak kita serap untuk masuk dalam diri kita, masuk dalam pikiran kita, masuk dalam emosi kita, masuk dalam otak kita, dan masuk dalam hati kita. Intinya kita secara sengaja dan sadar sedang memasukkan "unsur syeitan" dalam diri kita. Unsur ini akan masuk ke aliran darah kita dan mengalir ke seluruh bagian tubuh kita, fisik dan psikis serta emosional kita. Kalau kita sepakat dengan definisi syeitan yaitu segala sesuatu yang akan menjauhkan kita dari rahmat Allah. Salah satu yang menjauhkan kita dari rahmat Allah ini adalah amarah, maka amarah itu adalah syeitan yang harus kita jauhi. Hal lain yang bisa menjauhkan kita dari rahmat Allah adalah kekikiran, keserakahan, kerakusan, maka ketiganya adalah syeitan yang harus kita jauhi.
Karena berbagai unsur dalam tubuh kita telah tercemari oleh syeitan, maka muncullah tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan tindakan manusiawi, namun cerminan perbuatan syeitan yang terkutuk. Degub jantungnya menjadi lebih keras dan cepat, emosinya memuncak, tidak terkontrol, ditandai dengan warna merah padam di air mukanya, keluar dari mulutnya cacian, makian, keluar dari tangan dan kakinya tamparan, lemparan, pukulan, tendangan, pengrusakan, pembakaran, bahkan pembunuhan.
Maha Suci Allah yang sangat melarang sifat amarah ini dalam diri orang bertakwa, dan sebaliknya mewajibkan adanya sifat menahan amarah dan pemaaf. Sifat pemaaf ini membutuhkan adanya sikap lapang dada, selalu berprasangka baik, berhati lemah lembut, kemampuan berempati, kemampuan mengendalikan emosi, serta kemampuan reflektif – mampu bercermin terhadap diri sendiri, mampu mengkoreksi diri sendiri, mampu dan mau mengakui kesalahan yang dilakukannya sendiri. Intinya adalah orang bertakwa diharuskan senantiasa memasukkan pikiran positf, energi positif ke dalam tubuhnya, fisik, psikis, maupun emosional. Dari energi positf inilah akan muncul cerminan perbuatan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia ciptaan Allah.
Maha Suci Allah yang telah menetapkan bulan Ramadhan dengan kewajiban berpuasa sebagai bulan media latihan massal bagi kita selama satu bulan penuh untuk meningkatkan dan memasukkan berbagai energi positif dalam diri kita, fisik, psikis, dan emosional. Maha benar Allah dengan firman-Nya di akhir surat Al-Baqarah 184 "bahwasanya berpuasa itu jauh lebih baik bagimu, jikalau engkau mengetahui (rahasia-rahasianya)"
Salam Sukses